
HayKalsel, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan dua Direktur Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), Dwi Wahyudi dan Arif Setiawan, sebagai tersangka dalam kasus korupsi terkait pemberian fasilitas kredit. Keduanya diduga menerima fee dari debitur antara 2,5% hingga 5% dari jumlah kredit yang diberikan, yang dikenal dengan istilah “uang zakat.”
Plh Direktur Penyidikan KPK, Budi Sukmo Wibowo, mengungkapkan dalam konferensi pers bahwa penetapan tersangka ini didasarkan pada keterangan saksi dan bukti elektronik yang berhasil ditemukan oleh penyidik. “Ada kode ‘uang zakat’ yang diberikan oleh debitur kepada direksi yang bertanggung jawab atas penandatanganan pemberian kredit,” ujar Budi di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin (3/3/2025).
Budi menambahkan bahwa KPK juga akan berusaha memaksimalkan pengembalian aset terkait dengan kasus ini, termasuk pengembalian uang yang diperkirakan mencapai 60 juta dolar AS atau sekitar Rp 988 miliar dari debitur PT Petro Energy.
Kasus ini bermula dari penyelidikan KPK yang dilakukan sejak Maret 2024, terkait dugaan korupsi dalam pemberian kredit oleh LPEI kepada 11 debitur. Dari total kredit yang disalurkan, KPK memperkirakan potensi kerugian negara mencapai Rp 11,7 triliun, meskipun identitas 11 debitur tersebut belum diungkap.
Selain Dwi Wahyudi dan Arif Setiawan, KPK juga telah menetapkan tiga tersangka lainnya, yaitu Jimmy Masrin, Newin Nugroho, dan Susy Mira Dewi Sugiarta sebagai debitur PT Petro Energy. “Kami terus melakukan penyelidikan terhadap debitur lainnya,” kata Budi.
LPEI diduga memberikan fasilitas kredit kepada PT Petro Energy meskipun perusahaan tersebut tidak memenuhi syarat untuk menerima kredit. Para direksi LPEI juga diketahui tidak melakukan inspeksi yang memadai terhadap jaminan atau agunan yang diserahkan, sementara PT Petro Energy memalsukan dokumen dalam pengajuan kredit.
Budi juga mengungkapkan bahwa meskipun laporan dari bawahan menunjukkan adanya ketidaksesuaian dalam pencairan kredit, direksi LPEI tetap meloloskan kredit tersebut, bahkan memberikan persetujuan untuk top up kredit yang tidak layak, dengan total mencapai ratusan miliar rupiah.
Berdasarkan temuan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kerugian negara diperkirakan mencapai 60 juta dolar AS atau sekitar Rp 900 miliar. KPK berkomitmen untuk mengusut tuntas kasus ini dan mengembalikan aset yang merugikan negara.

