
HayKalsel, Jakarta – Kebijakan tarif tinggi yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, diperkirakan akan memberikan dampak signifikan bagi Indonesia, khususnya pada produk ekspor seperti minyak sawit mentah (CPO). Dengan bea masuk yang mencapai 32%, para petani dan pelaku industri sawit di Tanah Air mulai khawatir tentang dampaknya terhadap harga sawit dan penyerapan tandan buah segar (TBS) dari petani.
Mansuetus Darto, Ketua Dewan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), menilai bahwa kebijakan tarif ini bukan hanya sekadar upaya proteksi ekonomi, melainkan bagian dari strategi yang lebih besar terkait dengan kepatuhan negara-negara terhadap regulasi dan jejak produksi (traceability). “Banyak negara pengekspor barang ke AS yang melanggar aturan, sehingga mereka dikenakan tarif tinggi. Ini bisa menimbulkan pertanyaan tentang kualitas kepatuhan hukum terhadap barang-barang kita yang diekspor ke AS,” ujar Darto kepada CNBC Indonesia pada Jumat (4/4/2025).
Data SPKS menunjukkan bahwa ekspor CPO Indonesia ke AS pada tahun 2024 mencapai 1,4 juta ton, namun pada Januari 2025, ekspor sudah turun 20% dibandingkan Januari tahun sebelumnya, meski kebijakan tarif baru masih berupa rumor.
Darto juga mengingatkan bahwa krisis ekonomi AS dapat berimbas pada Indonesia, seperti yang terjadi saat krisis Lehman Brothers pada 2008 yang menyebabkan harga sawit anjlok hingga Rp100 per kilogram. “Jika AS terguncang, kita juga akan terkena dampaknya,” ujarnya.
Selain itu, kebijakan pemerintah Indonesia yang memberlakukan tarif ekspor seperti Pungutan Ekspor (PE) dan Bea Keluar (BK) sawit senilai US$ 170 per metrik ton semakin menambah beban bagi petani dan pelaku industri sawit di tengah pasar global yang semakin sempit.
Darto menyarankan agar pemerintah tidak hanya bergantung pada kebijakan biodiesel domestik, tetapi juga aktif melobi pasar ekspor baru dan mematuhi standar keberlanjutan global seperti EUDR (European Union Deforestation Regulation) yang mulai berlaku pada 2026. Ia juga mendesak penurunan tarif PE dan BK serta perbaikan iklim hukum untuk menciptakan lingkungan usaha yang lebih sehat.
“Selain itu, pembenahan regulasi dan tata kelola sektor sawit sangat penting untuk menghindari korupsi dan mempercepat pengambilan keputusan strategis,” pungkas Darto.

